Friday, July 23, 2010

BESU

KELUARGA saya adalah keluarga pedagang masakan babi. Telah berpuluh-puluh tahun keluarga saya menekuni pekerjaan ini. Sejak moyang saya. Sejak kakek-nenek atau entah garis yang keberapa, pekerjaan keluarga saya adalah memasak babi dan meramunya dengan ramuan khas yang telah diajarkan secara turun-temurun.

Urusan masak-memasak, dalam keluarga kami, ditangani oleh kaum perempuan. Sedangkan untuk urusan berburu babi, kaum laki-lakilah yang menanganinya. Tapi saya adalah satu-satunya lelaki dalam keluarga saya. Semua saudara saya adalah perempuan, masih muda dan belum kawin. Sementara itu Ayah saya telah meninggal bertahun-tahun yang lalu ketika seekor babi sebesar lembu menyerangnya dalam sebuah perburuan. Oleh Ayah saya, babi itu dipatahkan salah satu taringnya. Sekarang taring babi itu menjadi ajimat yang selalu saya bawa setiap kali melakukan perburuan.

Sebagai seorang pemburu, saya sering pergi berhari-hari dalam usaha perburuan. Kadang saya memasuki pemukiman-pemukiman seberang atau hutan-hutan kecil untuk lebih banyak mendapatkan babi-babi buruan. Dari setiap perburuan, biasanya saya bisa membawa pulang dua atau tiga ekor babi pada setiap minggunya. Saya naikkan babi-babi itu ke dalam gerobak. Dan segera saya bawa pulang jika telah memenuhi jumlahnya.

Tapi akhir-akhir ini babi-babi liar itu semakin sulit saya temui. Dan kalaupun ada, yang tampak hanyalah seekor induk yang sedang menggiring bayi-bayi mungilnya. Untuk babi-babi seperti ini, sejak dari moyang saya, kami telah dilarang untuk menangkapnya. Mereka adalah garis regenerasi babi yang tidak boleh saya putuskan rantainya.

SEMENTARA itu di dekat pemukiman kami terdapat sebuah hutan lebat yang tak seorangpun berani memasukinya. Dalam hutan itu telah berkembang sebuah legenda tentang manusia yang menguasai hutan dengan pengawalan ratusan babi-babi liar di sekitarnya. Mereka menamakan orang itu Besu. Tetapi cerita tentang Besu tidak pernah ada yang bisa merunut kebenarannya. Orang-orang hanya percaya bahwa manusia yang menjadi raja babi itu selalu meminta tumbal seekor lembu pada tiap malam purnama. Jika sekali saja orang-orang tidak memenuhi, maka beberapa waktu kemudian akan ada penduduk yang mati dengan tubuh tercabik-cabik oleh taring babi.

Tapi legenda tentang Besu tidak membuat nyali saya menjadi ciut. Kehidupan seorang pemburu telah mengajarkan saya bagaimana mengenal maut dan menggunakan maut itu sebagai takdir bagi buruan saya. Maka setelah berbekal segala jenis perangkap babi. Saya memasuki hutan itu untuk mulai perburuan. Berhari-hari saya menyisir bukit dan lembah, tapi tak sedikitpun saya mencium jejak seekor babi. Baru pada hari ke lima, setelah saya begitu jauh memasuki hutan, saya melihat jejak-jejak babi yang tertapak pada tanah pinggiran sungai yang basah. Saya mengerti jika saya telah dekat dengan keberadaan mereka.

Segera saya pasang jebakan-jebakan yang telah saya bawa. Saya pasang sedemikian rupa, sehingga memungkinkan bagi saya untuk membawa dua atau tiga ekor babi sebagai hasil perburuan. Setelah semua jebakan terpasang, saya segera mencari pohon yang tinggi, saya naik dan bersembunyi di antara rimbun daunnya. Menurut moyang saya, hewan-hewan akan selalu menempuh jalan yang sama ketika bepergian dari sarang. Sebab itu saya memutuskan untuk lebih baik menunggu daripada semakin dalam memasuki hutan. Setelah beberapa hari menunggu, tepat pada malam ke tujuh, saat purnama bersinar terang di atas langit, saya mendengar dengusan babi pertama yang disambut gemuruh dengusan babi-babi lainnya. Saya merasa inilah saatnya bagi saya untuk mendapatkan babi-babi buruan.

Beberapa waktu kemudian terdengar gemuruh langkah yang beriringan. Tetapi ketika mereka mulai tampak, saya tercengang. Inilah rombongan babi terbesar yang pernah saya temui selama menjadi seorang pemburu. Melalui cahaya rembulan, saya bisa melihat ratusan babi bergerak liar, menerobos semak belukar hingga rimbunan perdu dan paku-pakuan menjadi lumat dengan tanah.

Ketika jebakan-jebakan saya mulai membuahkan hasil, saya menjadi girang. Tetapi jerit babi yang terkena jebakan membuat saya insyaf jika seluruh rombongan itu mendadak berhenti. Mereka lalu bergerak acak dan mengendus-enduskan moncongnya seperti mencari sesuatu. Sekarang tahulah saya, mereka mencari keberadaan saya.

Maka ketika endusan itu telah mengarah pada pohon tempat saya bersembunyi, segera saya meloncat dan bersiaga. Tak ada pilihan. Jika saya tidak segera meloncat maka pohon itu pun akan tumbang oleh serudukan babi-babi. Bagi saya sekarang cuma ada satu jalan; bertarung dengan mereka.

Di tengah-tengah kelebatan hutan mereka mengelilingi saya seolah hendak menyerang dengan keroyokan. Segera saya cabut golok. Maka ketika babi-babi itu serentak menyerang, saya tebas mereka satu persatu. Banjir darah tak terelakkan. Tetapi mereka terus menggila. Menyerang saya dengan segala cara.

SEMENTARA itu malam terus saja merambat dan puluhan babi telah terbunuh di tangan saya. Mereka seperti tumpukan bangkai pada tempat penjagalan hewan. Tetapi entah dari mana asalnya, mereka berdatangan seperti gelombang yang terus menerjang. Terus bertambah dan tak ada habis-habisnya. Saya nyaris kewalahan. Tapi semangat seorang pemburu telah mengajarkan saya untuk tidak menyerah ataupun merasa gentar. Kami bertarung semalaman. Baru ketika pagi tiba, saat matahari telah memasuki rusuk-rusuk hutan, pertarungan itu terhenti. Mendadak babi-babi itu lari kalang-kabut memasuki semak belukar. Rupanya mereka takut pada cahaya. Saya hanya bisa bersyukur sebab saya masih hidup meskipun luka di tubuh saya sudah arang keranjang.

Anyir darah dari bangkai-bangkai babi telah menarik rombongan gagak dan hewan pemangsa lain untuk berkerumun. Sebelum mereka berpesta, saya terlebih dahulu mengambil dua atau tiga ekor babi terbaik yang telah saya bunuh. Sejenak babi-babi itu saya asapi, lalu setelah saya rasa cukup untuk mengawetkannya, segera saya mencari jalan untuk kembali pulang.

Tapi selama perjalanan pulang, perasaan saya selalu mengatakan jika ada sesuatu yang terus membuntuti saya. Selalu saya mendengar suara semak terinjak. Kadang pula terdengar suara ranting kecil bergemeletuk patah. Tetapi ketika saya menolehkan kepala, tak terlihat apapun. Baru pada lembah ketiga, ketika pemukiman saya sudah tinggal dua lembah ke depan, tiba-tiba dari semak belukar muncul seorang lelaki dengan tatapan tajam menghadang saya. Ia menaiki seekor babi sebesar lembu. Tubuhnya berbalut baju dari kulit harimau. Sementara itu sebilah golok terselempangkan di belakang punggungnya. Pikiran saya langsung tertuju pada legenda manusia yang hidup di tengah-tengah rombongan babi. Diakah sosok yang melegenda itu?

Saya berteriak, “Besu, kaukah?”

Ia tak menjawab tapi tatapan matanya berkilat ke arah saya.

Saya bertanya lagi, “Besu, kaukah?”

Ia lalu menyeringai sehingga tampaklah jika pada sudut rahang depannya mencuat gigi taring yang panjang. Sekarang yakinlah saya jika dia adalah Besu, legenda dari manusia yang hidup dalam rahim kehidupan babi.

INILAH kali pertama saya bertemu dengan Besu. Setelah sekian lama nama itu melegenda, barulah saya tahu jika Besu bukanlah seorang lelaki berperawakan besar dengan wajah yang menakutkan. Ia hanyalah seorang cebol dengan kulit hitam berkerak, rambut gimbal, dan gigi-gigi tajam seperti taring babi. Sama sekali di luar batas pemikiran orang-orang sebelumnya. Ia tidak berbicara melalui bahasa yang terfonasikan. Hanya seperti sengau atau dengusan-dengusan dari suara nasal. Dari perangainya ia lebih mirip dengan seekor babi daripada seorang manusia.

Tetapi ketika mata saya menatap ka arah babi sebesar lembu yang ia tunggangi itu, tampaklah dalam pandangan saya, seekor babi dengan taring yang tinggal sebelah. Ingatan saya segera mengarah pada peristiwa bertahun-tahun silam. Pada peristiwa ditemukannya ayah saya oleh seorang pencari rotan dengan luka yang parah. Oleh dukun kampung kondisi ayah saya hanya diisyaratkan dengan gelengan kepala yang berat. Luka yang diderita tidak memungkinkan lagi untuk disembuhkan. Ayah saya meninggal setelah bercerita tentang seekor babi liar yang menyerangnya dan berhasil ia patahkan salah satu taringnya.

Sekarang saya tahu jika babi besar yang ditunggangi Besu adalah babi yang telah membuat nyawa ayah saya melayang. Saya menjadi geram. Saya ambil potongan taring yang selama ini saya simpan dan saya tunjukkan padanya. Mata babi itu menatap tajam ke arah saya. Ia lalu mendengus-dengus. Rupanya ia masih bisa mengenali taringnya yang telah bertahun-tahun terpisah dari tubuhnya. Dengusannya semakin keras dan geraknya semakin tak terkendali. Besu segera meloncat dari punggungnya. Ia berusaha menenangkannya, tetapi babi itu sedemikian tak terkendali. Ia tampak begitu marah. Tetapi saya jauh lebih marah.

PERTARUNGAN kali ini bukan lagi pertarungan antara seorang pemburu dengan binatang buruannya. Tetapi pertarungan kali ini adalah pertarungan dendam yang menuntut balas arti sebuah kematian. Dia melampiaskan dendam atas kematian makhluk sebangsanya dan saya melampiaskan dendam atas kematian ayah saya. Kembali saya cabut golok. Saya tudingkan ke arahnya. Dan pecahlah pertarungan saya dengannya.

Babi itu menyerang saya dengan ganas. Saya nyaris kewalahan. Terus-menerus saya berkelit. Tetapi seperti biasa, pergerakan babi tak akan lebih dari sebuah garis lurus yang kaku. Ia tak bisa membelok dengan tiba-tiba seperti binatang-binatang lain yang lincah. Dan saya manfaatkan kelemahannya itu untuk terus berkelit lalu menusukkan golok saya ke arah lambungnya. Darah segar menyembur dari perut yang bocor. Ia terseok tetapi masih juga bangkit. Dia kembali menyerang saya. Dan pada kesempatan yang baik saya akhiri perarungan itu dengan menebaskan golok pada batang lehernya. Ia terjerembab dengan luka yang parah. Sekejap mengejang. Lalu Mati.

Peristiwa itu membuat Besu kesetanan. Ia menangis meraung-raung seperti seorang anak yang kehilangan induk. Suaranya bergaung menembus hutan dan tangisnya terus melolong menelusup lembah-lembah yang jauh. Ia kemudian menyerang saya secara membabi-buta. Kekuatannya luar biasa, pantas jika babi sebesar lembu itu bisa takluk padanya. Untuk sementara waktu saya hanya menghindar dan terus menghindar. Tetapi seperti biasa dalam menghindar saya mempelajari titik lemahnya. Dan pada akhirnya saya bisa menemukan sebuah keanehan dari pergerakan Besu. Ia menyerang dengan gerak yang selalu tegak lurus. Sama seperti pergerakan seekor babi. Tahulah saya, jika ia memang benar-benar babi.

Sekali waktu datanglah kesempatan yang baik. Saya tidak menyia-nyiakannya. Sebuah tinju yang kuat berhasil saya daratkan ke tubuhnya, ia terpental dan mengerang. Melihat ia roboh, saya tak memberikan kesempatan sedikitpun. Segera saya serang dia tanpa ampun. Saya pukuli ia terus menerus, dan pada akhirnya saya injak kepalanya hingga melesaklah tengkoraknya. Ia mati seketika.

Setelah itu saya menghampiri babi raksasa yang telah saya bunuh itu. Saya potong taringnya yang sebelahnya. Lalu saya taruh potongan taring itu bersama taring ajimat warisan ayah saya. Kelak kedua taring itu akan saya wariskan pada keturunan saya sebagai bintang kebesaran seorang pemburu babi. Dan mengenai cerita kematian Besu, saya tidak menceritakannya pada siapapun. Saya tahu bahwa legenda Besu adalah legenda yang harus tetap terjaga agar orang-orang punya rasa takut dan tidak berbuat semena-mena. [zainal arifin za]